Malu, Mutiara yang Terkubur

Ia begitu indah. Menghiasi hati pemeliharanya dengan pancaran sinar kebaikan. Akan tetapi, ia kini menghilang. Terpendam lumpur kegelapan dalam hati yang melupakannya. Itulah rasa malu. Bagaikan mutiara yang terkubur. Ia adalah keistimewaan para manusia dan akhlak yang agung. Tanpanya tidak ada kebaikan sedikitpun dalam kehidupan.

 

Apa Itu Malu?

Malu adalah getaran rasa takut dan segan yang terjadi di dalam hati untuk melakukan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala, untuk tidak melakukan sesuatu yang telah diwajibkan Allah Ta’ala, atau untuk melakukan sesuatu yang tidak dianggap baik oleh manusia selama hal tersebut juga tidak dianggap baik oleh syariat.

Sehingga rasa malu menjadi penghalang antara keberanian untuk melakukan kemaksiatan dan menahan diri dari melakukannya. Karena rasa malu ibarat bendungan, apabila hancur maka air pun akan mengalir dan menenggelamkan segala sesuatu. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka dia tidak memiliki bendungan, sehingga tidak ada yang menghalanginya dari melakukan kemaksiatan. Rasa malu juga tidak akan terjadi kecuali karena kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sifat malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan.”[1]

 

Setangkai Cabang Keimanan

Seiring dengan bertambahnya rasa malu, maka keimanan pun bertambah. Sebaliknya, jika rasa malu itu berkurang, berkurang pula keimanannya. Karena rasa malu adalah sebagian dari iman. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Keimanan memiliki tujuh puluh  atau enam puluh sekian cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan “Laa ilaaha illallaah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan rasa malu adalah satu dari cabang-cabang iman.”[2]

 

Obat Penawar Keburukan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara perkara yang telah dipahami oleh manusia dari perkataan kenabian pertama adalah ‘Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apa yang kamu suka.”[3]

Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya penghalang keburukan adalah rasa malu. Oleh karena itu, orang yang rasa malu telah hilang dari dalam hatinya, dia akan berbuat apa saja yang dia suka. Dia tidak merasa malu di hadapan manusia, di hadapan dirinya sendiri, bahkan di hadapan Allah Ta’ala. Maka dia pasti akan mendapatkan balasan dari apa yang dia perbuat.

Abu Dulaf al-‘Ijli rahimahullahu berkata,

“Apabila kamu tidak menjaga kehormatan..

Dan tidak takut Sang Pencipta..

Juga tidak merasa malu terhadap makhluk..

Maka lakukan apa yang kamu suka..”[4]

Rasa Malu Tidak Menghalangi Amar Ma’ruf Dan Nahi Munkar

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104)

Dosa yang pernah kita perbuat bukanlah menjadi alasan untuk meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena meninggalkannya juga termasuk dosa. Padahal setiap anak Adam sering melakukan kesalahan, bahkan setiap da’i pun pernah berbuat salah. Seorang penyair berkata,

“Jika saja orang yang berbuat dosa tidak pantas untuk menasehati manusia

Siapakah yang pantas menasehati para pelaku maksiat setelah kematian Nabi Muhammad?”

 

Rasa Malu Bukan Penghalang Menuntut Ilmu

Mujahid rahimahullah pernah berkata, “Tidak akan mendapatkan ilmu orang yang pemalu dan orang yang sombong.”[5] Rasa malu bukanlah penghalang seseorang untuk berbuat kebaikan. Terlebih lagi kebaikan yang sangat agung, dimana kita diperintahkan untuk berlomba-lomba di dalamnya, seperti menuntut ilmu. Sungguh tidak sepatutnya rasa malu menghalangi kita menghadiri majelis taklim, bertanya tentang agama, dan mendalami syariat Islam. Sebagaimana kaum wanita Anshar yang terkenal dengan sifat malu, akan tetapi hal itu tidak menghalangi mereka dari mempelajari agama mereka. Sebagaimana perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar. Rasa malu mereka tidak menghalangi mereka untuk mendalami ilmu agama.”[6]

 

Tidak Menampakkan Perbuatan Kemaksiatan Adalah Rasa Malu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seluruh umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan (bermaksiat). Di antaranya adalah seorang lelaki yang pada malam hari melakukan satu perbuatan maksiat, padahal Allah Ta’ala telah menutupi aibnya tersebut, tetapi ketika di pagi hari, dia berkata: ‘Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan ini dan itu.’ Pada malam hari Rabb-nya telah menutupi aibnya, akan tetapi ketika pagi hari dia membuka penutup tersebut darinya.”[7]

 

Fenomena Rasa Malu

Sebagai contoh nyata sikap malu yang terpuji adalah kisah tentang seorang remaja putri yang bertemu dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, yang kisahnya telah disebutkan dalam surat Al-Qashash: 25. Allah Ta’ala telah menyifatinya dengan rasa malu di dalam cara berjalan dan bicaranya, yang semuanya dihiasi dengan rasa malu.

Namun kenyataan sekarang berbicara lain. Kebanyakan wanita sekarang bangga menjadi figur pameran fashion. Mereka keluar rumah membuka aurat, ber-tabarruj (bersolek), dan memakai wangi-wangian. Sungguh rasa malu telah hilang dari hati mereka. Bahkan tidak sedikit kaum lelaki  tanpa rasa malu mengumbar pandangan untuk mengintai aurat wanita. Tidakkah mereka tahu bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui mata-mata yang berkhianat dan segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati? Tidakkah mereka tahu bahwa pandangan mata adalah panah beracun dari panah-panah setan laknatullah? Panah tersebut bisa saja menghancurkan keimanan. Sehingga ia berpeluang besar berpindah dari satu maksiat ke maksiat lain.

Ibnu as-Samaak rahimahullahu berkata,

“Hai pecandu dosa, tidakkah kamu merasa malu..

Padahal Allah bersamamu di dalam kesendirianmu..

Penangguhan dosa dari Rabbmu telah menipumu..

Juga banyaknya keburukan yang telah ditutupi untukmu..”

 

           Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kita agar bersikap malu untuk melakukan kemaksiatan dan meninggalkan kewajiban. Akan tetapi, tidak selayaknya kita bersikap malu untuk meninggalkan keburukan dan mengerjakan kebaikan. Janganlah kita biarkan mutiara yang begitu indah terkubur dalam kegelapan hati kita. Akan tetapi, hiasilah hati kita dengan sinar kemuliaannya yang berkilau.  Allahu al-Musta’an.

 

Penulis             : Roni Nuryusmansyah (Mahasiswa STDI Imam Syafi’i Jember)

Pemuraja’ah    : Ust. Jamaludin, Lc (Pengajar Ponpes Abu Hurairah Mataram, Ponpes Abu Dzar Lombok Barat, dan Ponpes Imam Muslim Lombok Timur)

Artikel             : kristalilmu.com

 

_______________

[1] HR. Bukhari (10/6117), dan Muslim no. 37

[2] HR. Bukhari (1/9) dan Muslim (1/35)

[3] HR. Bukhari (7/3483, no. 3484)

[4] Fath al-Barr: 4/558-559

[5] HR. Bukhari

[6] HR. Muslim no. 500

[7] HR. Bukhari (10/6069), dan Muslim no. 2990


Warning: Use of undefined constant rand - assumed 'rand' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/customer/www/kristalilmu.com/public_html/wp-content/themes/ribbon/single.php on line 35

Comments

  1. By dhika

    Reply

  2. Reply

    • Reply

  3. By Herman Brawijaya

    Reply

    • By Roni Nuryusmansyah -admin-

      Reply

  4. By Herman Brawijaya

    Reply

  5. Reply

    • By Roni Nuryusmansyah -admin-

      Reply

  6. By Abahe Sahili

    Reply

    • By Roni Nuryusmansyah -admin-

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *