Bolehkah Berkurban untuk Orang yang Sudah Mati?
Pertanyaan:
Apakah kurban disunnahkan untuk orang yang hidup ataukah untuk orang yang sudah mati?[1]
Jawaban:
Berkurban disunnahkan untuk orang yang masih hidup dan bukan untuk orang yang sudah mati. Berkurban untuk orang yang sudah mati diperbolehkan, namun tidak dianjurkan. Karena sejatinya, berkurban hanyalah disyariatkan untuk orang yang masih hidup saja.
Realitanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkurban untuk seorang pun yang telah meninggal seperti Khadijah, anak perempuannya, pamannya Hamzah, serta anak-anaknya radhiyallahu ‘anhum. Dan tidak pula para sahabat yang Beliau cintai radhiyallahu ‘anhum.
Allah Ta’ala telah berfirman,
“Sesungguhnya di dalam diri Rasulullah itu telah terdapat suri teladan yang baik bagimu.”
(QS. Al-Ahzab: 21)
Berkurban merupakan ritual dan ritual berkaitan dengan orang yang masih hidup. Berkurban berbeda dengan sedekah. Karena orang yang berkurban turut memakan daging kurbannya, menghadiahkannya, dan menyedekahkannya. Jika kita ditanya, manakah yang lebih utama, bersedekah dengan harta yang banyak atau berkurban? Maka kita katakan, yang lebih utama adalah berkurban. Kecuali kaum muslimin memiliki keperluan yang lebih bisa dipenuhi dengan sedekah dibandingkan dengan kurban. Jika tidak demikian, maka berkurban lebih utama daripada memberi sedekah dan nilai yang dikeluarkan untuk berkurban lebih berharga berkali-kali lipat.[2]
Jika seseorang berkurban untuk mayit, maka kita tidak mengatakan bahwa hal tersebut haram sebagaimana yang dikatakan sebagian ahlul ilmi. Kita juga tidak mengatakan bahwa pahalanya tidak sampai kepada mayit. Tidak pula kita mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah, perbuatan yang diada-adakan dalam agama. Akan tetapi, kita mengatakan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan namun tidak dianjurkan. Barangsiapa yang melakukannya, maka tidaklah mengapa. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perbuatan sedekah yang telah ditetapkan oleh dalil. Barangsiapa yang tidak melakukannya, maka hal tersebut lebih baik karena para generasi terdahulu tidaklah mencontohkan perbuatan demikian. Dan bukanlah kebaikan bagi kita untuk melakukannya.
Cukuplah menjadi dalil bolehnya berkurban untuk mayit bahwa seseorang jika berkurban dengan seekor sapi untuk dirinya dan untuk keluarganya maka hal ini mencakup orang yang masih hidup maupun setelah mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya.[3] Dan termasuk di dalamnya adalah anggota keluarga yang telah meninggal. Beliau juga berkurban untuk umatnya dengan seekor kambing. Dan termasuk hal yang dimaklumi bersama bahwa sebagian umat Beliau telah meninggal.
Adapun orang yang mengatakan bahwa berkurban untuk mayit adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan dalam agama, maka kita katakan bahwa perkataan kalian benar. Tidak ada dalil dari Rasulullah yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut merupakan sunnah. Akan tetapi, ulama mengatakan bahwa kurban adalah berderma dengan harta dan hal ini memiliki dasar di dalam syari’at, yaitu sedekah. Dan sedekah untuk mayit diperbolehkan.
Terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa seorang pemuda berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal secara mendadak.[4] Saya yakin jika seandainya ibuku dapat berbicara, maka ia akan bersedekah. Apakah aku boleh bersedekah untuknya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab, “Boleh.” Pemuda itu pun bersedekah untuk ibunya.[5]
Demikian pula Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bersedekah untuk ibunya. Maka Beliau pun memperbolehkannya.[6] Ulama pun mengatakan bahwa berkurban seperti bersedekah maka dari sisi ini, ia tidalah termasuk bid’ah.
Penerjemah: Abu Ahnaf Roni Nuryusmansyah, mahasiswa STDI Imam Syafi’i Jember
Artikel: www.kristalilmu.com
*) Diterjemahkan secara bebas dari kitab Mudzakiratul Fiqh, karya Syaikh Utsaimin, Kitab Haji, hal. 551-552, Jilid pertama, Penerbit Darul Islam lin Nasyri wat Tauzi’ -Mesir-, 1428 H / 2008 M
__________
[1] Maksud pertanyaan di atas bukanlah berkurban ‘kepada’ orang yang sudah mati seperti yang terjadi di berbagai ritual-ritual kesyirikan. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah berkurban untuk orang yang sudah mati dan ditujukan kepada Allah-pent.
[2] Misal, seseorang yang berkurban dengan seekor kambing seharga satu juga lebih utama daripada seseorang yang bersedekah seharga dua juta di hari Idul Adha-pent.
[2] Terdapat riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkurban berdoa, “Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah kurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.”
HR. Bukhari dan Muslim.
[3] Maksudnya adalah meninggal tanpa didahului dengan suatu penyakit.
[4] HR. Bukhari dan Muslim.
[5] Adapun hadis secara lengkap adalah; Sa’ad bin ‘Ubadah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan aku tidak berada di sampingnya kala itu. Apakah bermanfaat jika sekiranya aku bersedekah untuknya?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka Sa’ad pun berkata, “Aku persaksikan kepadamu bahwa kebunku yang berbuah adalah sedekah untuk ibuku.” (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari).
HR. Bukhari dan Muslim.
———-
Selasa, 30 Dzulqa’dah 1433 H / 16 Oktober 2012 M
Senja tanpa cahaya, penghujung Bulan Dzulqa’dah,
*) Beberapa jam lagi, sepuluh hari istimewa yang dijanjikan akan segera tiba,
Sambutlah ia, kawan..
Warning: Use of undefined constant rand - assumed 'rand' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/customer/www/kristalilmu.com/public_html/wp-content/themes/ribbon/single.php on line 35
assalamu’alaykum..
baarakallaahu fiikum yaa ukhayya Rony..
fatahallahu ‘alaik..
mau izin copas boleh?
jazakumullahu ahsanal jazaa’..
wa’alaikumus salam,
wa fiika barakallah, silahkan akh,
wa iyyakum
Asslamu’alaikum
Agak OOT sih, dlm 1 keluarga, suami dan istri, kurbannya harus 2 a[a cukup 1 saja sih? atau bs giliran?
wa’alaikumus salam,
keluarga tersebut cukup berkurban seekor kambing, lalu diniatkan pahalanya untuk satu keluarga,
sebagaimana Nabi dahulu berkurban seekor kambing, lalu meniatkan pahala kurbannya untuknya, keluarganya, dan umatnya,
akan tetapi tidak bisa dikatakan satu ekor kambing itu kurban dari dua orang: suami-istri, karena ulama sepakat seekor kambing hanya mencukupi satu orang meskipun pahalanya bisa lebih dari satu orang,
adapun jika masing-masing pasutri berkurban seekor kambing maka itu tentu lebih baik, entah itu sekaligus ataupun bergiliran,
wallahu a’lam
Assalamu’alaikum
Terima kasih untuk pencerahannya ustadz
berkurban untuk orang matiitu di perinci, misalnya yang tidak boleh itu adah secara istiqlaalan, adapun misalnya kalau si a berqurban maka sudah termasuk disitu keluarganya yang sudah mati. dengan dalil keumuman. hadza `anny wa aali baitii, baik ahlul baitnya yang masih hidup atau sudah mati… ini semua yang dimaksud adalah isytirookuts stawab la isytirookul milk. lihat majmu` fatawanya syeik utsaimin ……
.
yang dibahas oleh syekh utsaimin di atas bukan isytirakuts tsawab, karena itu sudah jelas
memang ada sebagian ulama yang berpendapat tidak boleh, hanya saja saya di sini penerjemah, dan etika penerjemah tidak mengubah isi maupun fatwa beliau yang dalam hal ini beliau berpendapat hal itu boleh, tidak bid’ah, namun meninggalkannya lebih utama, analogi dengan sedekah
silakan merujuk ke sumber asli
barakallahu fik