Benarkah Allah Berada di Atas Langit? (Bag. I)
Jika manusia ditanya “dimanakah Allah?”, maka akan terlontar sejuta jawaban dari lisan-lisan mereka yang beranekaragam dengan berbagai versi yang berbeda pula. Jika mereka dimintai dalil atas jawaban tersebut, maka hanya mulut yang terbungkam diam seribu bahasalah yang banyak kita jumpai. Tak dapat dipungkiri, fenomena semacam ini tidaklah asing bagi pembela cahaya kebenaran dan penyebar racun kesesatan. Pertanyaan sederhana ini menjadi tolak ukur yang membedakan sudut putih kebenaran dan sudut hitam kebathilan. Insya Allah, kita bersama akan mengupas beberapa jawaban-jawaban tersebut. Pada pembahasan kita kali ini, kita akan menelusuri perkataan Allah berada di atas langit. Benarkah demikian?
DISYARIATKANNYA BERTANYA “DI MANA ALLAH?”
Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata, “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau, “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut, “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut, “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.[1]
Imam adz-Dzahabi rahimahullah mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “…Di dalamnya terdapat dalil bahwa disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Di mana Allah?…”[2]
Begitu juga dengan hadits Zaid bin Aslam rahimahullah yang tak kalah gamblangnya menerangkan disyari’atkannya bertanya “Dimana Allah?”, ia bercerita, “Ibnu Umar pernah melewati seorang pengembala kambing lalu berkata, “Hai pengembala kambing, adakah kambing yang layak untuk disembelih?” Jawab si pengembala tersebut, “Tuan saya tidak ada di sini”. Ibnu Umar mengatakan, “Bilang saja sama tuanmu bahwa kambingnya dimakan oleh serigala! Pengembala itu lalu mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan, “Lalu dimana Allah?”! Ibnu Umar berkata: Demi Allah, sebenarnya saya yang lebih berhak mengatakan: Dimana Allah? Kemudian beliau membeli pengembala serta kambingnya, membebaskannya dan memberinya kambing.”[3]
Jadi, sangat tidak sejalan dengan dalil perkataan bahwa terlarangnya bertanya keberadaan Allah Ta’ala dengan berbagai alasan yang batil. Terlebih lagi orang yang mengatakan hal tersebut bukanlah hal yang penting untuk dibahas dan hanya akan memecah belah umat. Padahal, secara tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang bertanya demikian. Secara tidak langsung, mereka pun menuduh Nabi kita memecah belah umat?! Semoga Allah melindungi kita dari berbagai ucapan buruk.
Telah dapat dipahami bahwa kedua hadits tersebut merupakan sepelintir dalil yang menetapkan keberadaan Allah Ta’ala berada di atas langit. Mari bersama kita meneliti dalil-dalil lainnya lebih dalam.
AL-‘ULUW = TINGGI
Mungkin sebagian kita tidak asing lagi mendengar kata al-‘Uluw. Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari Sifat-Sifat Dzatiyah Ta’ala yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah Ta’ala ini -sebagaimana sifat Allah Ta’ala lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh mereka yang sehat akalnya dan masih berada dalam lingkaran fitrah.
Terlebih lagi, telah datang dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya. Di antara dalil-dalil tentang sifat al-‘Uluw adalah sebagai berikut:
ü Firman Allah Ta’ala tentang ketinggian Allah Ta’ala yang artinya,
“Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi.” [Al-A’laa : 1]
ü Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [QS. al-Baqarah: 255]
ü Juga firman Allah Ta’ala tentang keberadaannya di atas seluruh makhluk-Nya yang artinya,
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An-Nahl : 50]
ü Terkadang firman Allah Ta’ala tentang naiknya sesuatu kepada-Nya yang artinya,
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]
ü Terkadang pula firman Allah Ta’ala tentang turunnya sesuatu dari-Nya yang artinya,
“Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar.” [QS. an-Nahl: 102]
BERSEMAYAM DI ATAS ‘ARSY
‘Arsy adalah singgasana dengan beberapa tiang yang dipikul oleh para malaikat. Ia layaknya kubah bagi alam semesta. Ia juga merupakan atap seluruh makhluk.[4]
Tidak lagi dipungkiri, dalil-dalil yang menunjukkan keberadaan ‘Arsy sebagai makhluk yang agung begitu banyak. Di antaranya:
- Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’minuun: 116]
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“…Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohon-lah kepada-Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Allah yang Maha Pengasih….”[5]
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai keagungan Malaikat,
“Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.”[6]
DALIL DARI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH[7]
- Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Allah Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaha: 5]
Para tabi’in menafsirkan istiwa’ dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Bukhari, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai).[8]
- Firman Allah Ta’ala yang artinya,
”Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” [Al-Mulk: 16]
Adapun yang dimaksud “yang berada di atas langit” adalah Allah Ta’ala.[9]
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: ‘Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.’.”[10]
- Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dzul Khuwasyirah,
“Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.”[11]
- Hadits tentang khutbah haji wada’,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya Allah, saksikanlah.”[12]
- Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj,
Yaitu sebuah hadits yang mencapai derajat mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama. Di antaranya Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata,[13] “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antaranya ungkapan, “Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).”[14]
Kemudian naiknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb kepada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.
Dalil mengenai hal ini tidak hanya bersumber dari Kalamullah dan Sunnah Rasul-Nya saja. Namun juga ia bersumber dari akal yang jauh dari hawa nafsu dan fitrah yang jauh dari penyimpangan.
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.”[15]
Begitulah telah kita paparkan beberapa dalil dari sekian banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy, di atas langit. Namun perlu kita ketahui bersama, bahwa hal ini tidak menunjukkan Allah Ta’ala membutuhkan ‘Arsy sebagai tempat bersemayam. Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Kemudian beliau juga menjelaskan, “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.”[16]
Insya Allah, dalam pembahasan selanjutnya, kita akan menukil perkataan ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam yang empat, dan ulama-ulama setelah mereka tentang keberadaan Allah di atas langit. Kita juga akan berusaha mengupas jawaban lain secara ilmiah dari pertanyaan “dimana Allah?” lainnya, seperti Allah Ta’ala ada di mana-mana dan Allah Ta’ala ada tanpa tempat. Kita akan menemukan apakah hal tersebut merupakan jawaban lain yang dapat ditolerir, ataukah itu hanya sebuah pernyataan batil tanpa ilmu? Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk membahasnya satu persatu. Wallahu a’lam.
Siang pertama di liburan semester ganjil pertama
Kamis, 9 Shafar 1432 H / 13 Januari 2011 M
Asrama STDI Imam Syafi’i, Jember, Jawa Timur
Penulis : Roni Nuryusmansyah (Mahasiswa STDI Imam Syafi’i Jember)
Artikel : kristalilmu.com
__________
[1] [Hadits Shahih, HR. Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa-i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448)]
[2] [Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim hal. 81 (Mukhtasar Al-Albani)]
[3] [Hadits Shahih, HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (12/263/13054) dan sanadnya dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 6/470 dan Muhktasar Al-Uluw hal. 127]
[4] [Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hal. 366-367)
[5] [Hadits Shahih, HR. Al-Bukhari (no. 2790, 7423), Ahmad (II/335, 339)]
[6] [Hadits Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4727)]
[7] Perlu diketahui, dalil-dalil sebelumnya baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah juga merupakan dalil tentang keberadaan Allah Ta’ala di atas langit.
[8] [Lihat Syarhu Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma’aarif]
[9] [Lihat ‘Adwa’u al-Bayan karya Syaikh Syinqithi, Tafsir ath-Thabari, Tafsir as-Sa’di, dan lain-lain]
[10] [Hadits Shahih, HR. Bukhari (no. 7422) dan Muslim (no. 2751)]
[11] [Hadits Shahih, HR. Bukhari (no. 4351) dan Muslim (no. 1064)]
[12] [Hadits Shahih, HR. Muslim (no. 1218)]
[13] [Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah]
[14] [Hadits Shahih, HR. Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264))]
[15] [Diringkas dari Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (hal. 389-390), lihat juga kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah (II/347).
[16] [Lihat Syarhu al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (hal. 372)]
Warning: Use of undefined constant rand - assumed 'rand' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/customer/www/kristalilmu.com/public_html/wp-content/themes/ribbon/single.php on line 35
bismillah. . .
assalamu’alaikum akhi! blog yang sangat bagus. isinya bermanfaat, mudah-mudahan setiap tulisan yang antum tulis dan sebarkan dapat mengobati hati yang gundah, kelesuan iman, dan menambah ilmu bagi siapapun yang mau mengambilnya. .
Jazaakallohu khoiron wa barokallohu fiik
wa’alaikumus salam..
aamiin, semoga blog sederhana ana yang berusia belum genap 1 bulan ini dpt bermanfaat bg kita semua..
wa iyyak akhi al-‘aziz..
Alhamdulillah, artikel yg sangat baik, semoga bermanfaat untuk ummat Islam, dan sekaligus sebagai senjata untuk membantah ahlul bid’ah dari kalangan Jahmiyah, Mutazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dll..
Barokallohufiykum
wa fiika barakallah..